Jumat, 11 Maret 2011

BUKAN MITOS


Dipeganglah kertas tanda bukti pembayaran itu dengan tangan gemetar. Alhamdulillah, lunas juga gumannya dalam hati. Sudah sebulan ini Ramsi bekerja sebagai kuli untuk mengumpulkan uang. Bapaknya yang sudah tua terkena stroke ringan, tapi tetap harus menjalani terapi dan pengobatan. Ramsi bersama bapak dan adik perempuan satu-satunya tinggal di sebuah rumah yang ketika kita masuk kita akan seperti melihat tv di tahun 70-an. Bapaknya terbaring di atas kasur yang isinya terburai kemana-mana,adiknya memasak ditungku pawonan. Semua jadi satu ruang, tempat tidur, tempat makan, tempat masak. Ramsi tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah formal. Tidak ada satu pun piagam penghargaan yang terpajang di dinding bambu rumahnya. Aku datang sebagai teman Ramsi di tempat biasa kami mangkal.Kadang-kadang Ramsi membawa motorku untuk mencari pelanggan, iya, aku tukang ojek. Setiap Ramsi mendapatkan pelanggan dia memberiku 3/4 bagian, tapi selalu kuberikan 1/4 nya lagi. Ojek hanya sampinganku, pagi hari hingga siang aku bekerja di Dinas Kebersihan dan tata letak kota. Tukang sapu mungkin lebih jelas.
Hari ini aku dan Ramsi punya janji untuk memperbaiki dinding bambu rumahnya yang hampir roboh dimakan rayap. Hubungan kami sudah seperti saudara, jadi apapun yang bisa kami kerjakan bersama, maka dia atau aku pasti akan menawarkan untuk membantu. Dan hari ini adalah hari pertamaku datang ke rumahnya. Istriku menitipkan bubur ayam untuk ayah Ramsi, tubuhnya kini semakin renta termakan penyakit, hitam dan sayu. Kasihan, kataku. Kalau saja aku punya uang banyak. Ah, kenapa rakyat kecil seperti aku dan keluarga Ramsi tetap seperti ini meski sudah bekerja keras?menggerutu sambil menyingkirkan rumah-rumah rayap yang mulai membuat istana di tumpukan sepatu-sepatu bekas. Hingga senja datang apa yang ku kerjakan membuahkan hasil, rumah Ramsi sedikit lebih rapi, ah kerja keras yang luar biasa kataku. Aku pun pamitan.
 Dua tahun lalu aku pernah disini, membersihkan tempat ini untuk membuat ayah Ramsi nyaman tidur ditempat pengab. Kini apa yang kulihat adalah rumah tingkat 4 yang sangat mewah. Aku mencoba bertanya pada sesorang yang lewat mungkin orang sekitar sini. Katanya itu rumah pak Ramsi, bos Kelab malam. Tak percaya dengan apa yang aku dengar, kulangkahkan kaki menuju satpam penjaga rumah itu. Sarno. dan benar. Katanya aku harus membuat janji dulu untuk ketemu dengan Ramsi. Di tengah perdebatan konyol antara aku dan Sarno, klakson mobil Lamborgini pun menghentikan kami. Sarno pun buru-bur membuka gerbang setinggi 3 meter itu, sekelebat kulihat Ramsi dikelilingi wanita-wanita cantik. Dan tanpa melihatku. Aku menunggu. Melihat Sarno dibentak-bentak Ramsi sambil melirikku sedikit. Pak Ramsi tidak kenal anda, tak kudengar apa yang dikatakan Sarno, yang kulihat adalah adik Ramsi, kenapa lehernya diikat seperti anjing?dan Sarno pun membentakku, menyuruhku pergi. Sarno tidak tahu namaku, yang dia tahu aku pemulung makanya Ramsi tidak mengenalku, ya aku dipecat dari Dinas karena dituduh diam-diam mencuri uang dan memang benar uang itu uuntuk pengobatan ayah Ramsi. Aku kembali lagi berharap Ramsi mau mempekerjakan aku sebagai pembantu mungkin. Dan kini yang ku lihat, adik Ramsi di jadikan bulan-bulanan pria hidung belang, tepat di depan pintu masuk rumahnya. Hilang harapan dan dalam pikiranku, kemana ayah Ramsi yang tua renta itu ya. Entah, mungkin dijadikan tumbal untuk sesembahan si Ramsi begitu kata-kata yang aku dengar dari tukang sayur dan beberapa ibu komplek. Nasib memang ditangan kita sendiri..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan cik-cik dan uncle-uncle yang mau bercomment...Ana tunggu ya comment-nya...^__^